JEMBER – Program Seritifikasi yang dicanangkan Pemerintah bagi para guru sekolah ternyata melahirkan resiko lain yang justru berimplikasi pada mutu pendidikan itu sendiri. Banyak kasus menunjukkan bahwa kesalahan penyusunan portofolio sertifikasi guru masih banyak kesalahan.
Persyaratan agar sertifikasi itu harus melampirkan bukti berbagai kegiatan ilmiah yang pernah diikuti ke dalam portofolio itu, membuat para guru yang menginginkan lolos banyak ceroboh melakukannya.
Demikian diungkap konsultan pendidikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Joko Suriyono saat memberikan materi pada Wosk Shop Nasional tentang Sertifiksi Guru di aula PTP Gunungsari Kencong Jember beberapa waktu lalu.
Joko menyatakan, karena ada persayaratan mengikuti kegiatan ilmiah, maka banyak guru yang berlomba untuk mengikuti seminar dan diklat untuk mengejar piagam. “Sampai-sampai seminar yang tidak berkaitan dengan pendidikanpun dilampirkan. Padahal itu kesalahan,”ujarnya.
Kegiatan yang digelar atas kerja bareng antara Ansor Cabang Kencong dengan Konsorsium Pendidikan Nasional Utama (KPNU) itu, Joko mengemukakan, dalam lampiran portofolio guru, masih banyak ditemukan piagam ganda. Dalam sebuah acara, para guru mendapat tiga piagam. “Kalau piagam-piagam itu disertakan dalam portofolio, pasti dicoret asesor,” paparnya.
Dia mengungkapkan, banyaknya guru yang tidak lolos sertifikasi disebabkan banyak kekurangan dan salah dalam menyusun portofolio. Hal ini dilatarbelakangi para guru yang enggan membaca panduan, jarang mengikuti diklat, malas membuat karya ilmiah, penelitian dan sebagainya.
Kebanyakan dari para guru, kata dia, lebih memilih jalan instan. Misalnya, untuk mendapat piagam, mereka rela mendapatkannya dengan jalan “membeli”.
Akhirnya, kata dia, banyak tindakan yang dinilainya tidak rasional. “Seperti soal ijazah, misalnya. Pendidikan yang seharusnya diselesaikan tiga tahun, ternyata hanya ditempuh satu tahun. Ini kan tidak logis,” tandasnya.
Sedangkan pembicara lain, Sunarto, kasubdin Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan guru tidak lulus sertifikasi. “Yaitu dari guru sendiri dan dari aspek administrasi,” katanya.
Dari guru, lanjut dia, banyak yang belum tahu tentang aturan sertifikasi. Selain itu, masih ada guru yang belum berijazah sarjana, baik tingkat TK hingga SMA.
“Masih banyak pula guru yang jam mengajarnya kurang dari 24 jam seminggu,” paparnya. Ditambah lagi, sambung dia, banyak bukti fisik portofolio yang hilang. Ini disebakan para guru kurang memelihara arsip yang dimilikinya.
Dari aspek administrasi, menurut Sunarto, antara lain disebabkan banyak guru yang tidak mengisi formulir A1 sesuai petunjuk sebagai salah satu syarat untuk mengikuti sertifikasi. “Salah tempat atau yang lain, tentu akan dicoret oleh tim sertifikasi karena diangap salah,” tegasnya.
Namun demikian, para guru yang lulus sertifikasi pun tak lepas dari masalah lain. Sunarto mengungkapkan, para guru yang lulus pada 2006, belum mendapat sertifikat pendidik. “Selama ini hanya dari sampang saja yang sudah mengantongi SK,” katanya.
Persoalan lainnya, kata dia, masih banyak guru yang lulus sertifikasi pada 2006 tetapi belum menerima tunjangan profesi. Ironisnya, ada pula beberapa guru yang mendapat tunjangan profesi ganda. (hh)
0 komentar:
Posting Komentar