oleh : Abdul Wahid, Dekan Fakultas Hukum Unisma Malang, dan Penulis Buku “Negara Tanpa Kelamin”
Penyakit yang menjangkiti seseorang di muka bumi ini, 90 % disebabkan makanan/minuman. Jenis makanan/minuman haram memberikan andil paling besar dalam penyebaran penyakit dan ‘pembunuhan manusia’, demikian �temuan Mohammad Wahib (2007) dalam bukunya berjudul “Quo Vadis Label Halal”, yang sejatinya sudah mengingatkan kita, bahwa selama di Republik ini obyektivitasnya masih marak produk haram, apapun dalih yang digunakan untuk mengaburkannya, maka ancaman akselerasi penyakit dan pembunuhan massal, rasanya sulit dihindari, dan bahkan bukan tidak mungkin di masa mendatang, bisa menjadi bomming atau “teroris sejati” yang bisa merampas kemerdekaan hak kesehatan dan hidup setiap manusia.
Sebagai sampelnya, kasus baru positif influenza A H1N1 semakin sulit dibendung “gerakannya”. Ia barangkali bisa menjadi penyebar horor yang melebihi apa yang dilakukan oleh teroris. Kalau teroris menyebar horor dengan rencana matang dan sistemik, maka A H1N1 bisa menjadi horor tanpa perlu arsitek.
Saat ini (setidaknya dengan menggunakan data WHO bulan Mei 2009, sudah ada 31 negara yang terjangkit flu babi. Di Indonesia, sudah 22 propinsi dilaporkan terinfeksi virus tersebut. Yaitu, Bali, Banten, Jogjakarta, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Jambi. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Tjandra Yoga Aditama menyatakan, saat ini kasus penularan H1N1 banyak ditemukan secara masal. Misalnya, yang terjadi di ponpes maupun sekolah. Penularan tersebut tidak bisa dicegah lagi Depkes sudah meminta agar seluruh masyarakat mewaspadai penularan virus tersebut dengan menerapkan pola hidup sehat. Di Kabupaten Malang misalnya sudah ditetapkan sebagai KLB flu babi (Surya, 6 Agustus 2009). Sampel ini cukup representatif untuk menyebut Indonesia terjajah flu babi.
Memang benar kalau akselerasi H1N1 sulit dibendung. Virus ini boleh disebut menjadi neo-kolonialis, pasalnya untuk memprediksi dimana dan kapan aklereasi virus ini tak bisa dengan cepat dan tepat. H1N1 seperti sengaja unjuk kekuatan, hegemoni represipnya, atau menunjukkan pada manusia kalau dirinya telah menjadi virus yang sangat menghebohkan, yang sebenarnya potensinya bisa lebih dahsyat menghebohkannya dibandingkan teroris.
Pemerintah melalui Dirjen sudah memberikan saran yang tepat bernama “pola hidup sehat”. Benar kalau masyarakat dimintanya merekonstruksi atau mereformulasi pola hidupnya menjadi pola hidup yang sehat, pasalnya hanya dengan pola hidup sehat ini, berbagai serangan virus membahayakan atau mematikan bisa dilawan (dikalahkan). Masalahnya, apakah masyarakat negeri ini memang menyukai pola hidup sehat? Apakah setiap elemen rakyat atau pejabat Indonesia memang punya kegemaran menjunjung tinggi budaya hidup sehat atau menyehatkan hidup berbudaya sehat (berkeadaban)?
Pola hidup sehat tidak selalu menjadi pilihan utama, apalagi kultur masyarakat atau pejabat negeri ini. Mulai dari pengusaha/perusahaan (korporasi) hingga konsumen dan pejabat kurang serius mengutamakan hidup berkeadaban atau memprivilitaskan pola hidup sehat. Pola hidupnya lebih cenderung mencari dan memburu yang memuaskan, menguntungkan, dan menyenangkan, dan bukan yang menyelamatkan dan membahagiakan.
Sebagian elemen di Republik ini seperti diajak semakin memerangkapkan diri dalam jagat hewani, animalisasi, atau setidaknya kacamata babi, yang anatomi dirinya menawarkan kelezatan dan kenikmatan (kepuasan) untuk dikonsumsi, atau dijadikan sebagai zat yang secara langsung atau tidak langsung bisa masuk ke dalam perut dan mampu menunjukkan neo-hegemonismenya.
Neo-hegemonisme babi menjadi mudah dirasakan oleh masyarakat Republik ini, baik konsumen, produsen, maupun pejabat, ketika mereka (merasa) seperti menjadi kekuatan yang tidak lagi superioritas atau kehilangan keberdayaan (empowerless), yang takluk, menyerah, atau kehabisan amunisi yang ampuh untuk melawan dan mengalahkannya. Kita seperti menjadi korban yang meminta jiwa karitas dari hewan yang semula kita rendahkan atau jadikan bahan olok-olok dasar babi, padahal dalam konstruksi dan anatomi tubuh kita, secara langsung atau tidak, telah menjadikan babi sebagai unsur yang mempersilahkan neo-hegemonisme.
Bagi mereka yang jadi pengusaha atau produsen, yang diburu dan ditargetkan sebagai kepentingan istimewa bukannya memuaskan, menyenangkan, dan menyelamatkan konsumen secara lahir dan batin seperti melindungi konsumen lewat prinsip halalan-toyiiban, tetapi sekedar memperlakukan konsumen menjadi obyek dan bumper mengail keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Berkali-kali misalnya sudah ditemukan sejumlah produk makanan� dan minuman yang setelah diteliti, ternyata mengandung zat-zat yang membahayakan dan oleh agama distigma diragukan atau diharamkan.
Produsen bermental cacat ini sengaja menjatuhkan opsi kapitalisme atau komoditi keselamatan lahir dan batin konsumen sebagai segmentasi dari cost logis yang harus dibayar oleh konsumen, baik pertaruhan kesehatan, sejumlah uang (biaya kesehatan) maupun nyawa melayang. Maka hendaklah manusia itu memperhatikan barang-barang yang dikonsumsi dan yang digunakanya (QS, Abasa: 24), demikian Firman Allah menunjukkan imbauan atau pesan moral kepada manusia (konsumen) tentang makanan yang hendak dimakan atau dikonsumsinya. Manusia diingatkan mengenai sikap cermat, hati-hati, atau waspada dalam menentukan produk yang dipilihnya. Sikap yang dituntut oleh agama ini sebenarnya mengindikasikan, bahwa di setiap makanan yang diproduk oleh produsen (perusahaan), bukan tidak mungkin mengandung zat-zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatannya, termasuk kemungkinan diragukan kehalalannya.
Menurut Ali Yafie (2003), mengkonsumsi yang haram, atau yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW setiap daging tumbuh yang diperoleh dari kejahatan (jalan haram), maka neraka lebih layak baginya (HR. Imam Ahmad). (dtm)
Sabtu, 22 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar