Kalau dulu pengaruh buruk sering didentifikasi sebagai pengaruh yang datang dari luar, dari masyarakat lain atau dari kebudayaan lain, tetapi sekarang ini ketika situasi sosial telah sedemikian buruk, maka sistem tersebut dengan sendirinya telah memaksa manusia yang hidup di dalamnya untuk turut dalam derap sosial yang sedang menuju pada kenistaan. Dalam situasi begini maka bermasyarakt berarti juga berisiko menghadapi situasi buruk, karena semu teah terdorong untuk melakukan perbuatan nista, seperti mengajarkan kebencian, kerakusan, kekerasan dan sebagainya. Konsep uzlah bahkan hijrah yang dilakukan para Nabi berangkat dari situasi sosial seperti ini.
Menghadapi situasi zaman atau keadaan sosial yang sudah rusak seperti itu kalangan ulama Jawa mengajarkan apa yang disebut dengan topo ngeli (tetap bergaul tapi tidak larut) dengan harapan agar tidak tenggelam dalam kegelapan moral, sehingga tetap bisa menjaga norma agama dan norma sosial yang sehat. Bila orang sudah bisa mensikapi perkembangan sosial seperti itu maka dia disebut sebagai orang yang mati sajeruning urip (mati ketika masih hidup). Mampu menahan semoa godaan hidup sebagaimana dituntut oleh situasi sosial yang ada.
Puasa dalam Islam adalah sebagai upaya mengatasi berbagai problem sosial yang dihadapi terutama soal moral. Bagi orang kebanyakan yang masih pada taraf nafsu bahimiah (jiwa binatang), maka dengan keserakahannya akan sulit menahan godaan nafsu duniawi. Sebaliknya bagi orang yang telah mencapai nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang), akan mampu menghadapi godaan seberapapun beratnya, baik berupa harta maupun kekuasaan.
Kondisi sosial kita sekarang ini telah demikian buruk, di mana seluruh kehidupan telah diliberalisasi, sehingga hubungan antar masnuisa menjadi sedemikian renggang, masing-masing menjadi pesaing dari yang lain. Bersaing dalam memperoleh harta, bersaing memperebutkan pangkat dan kedudukan, bersaing mendapatkan ketenaran. Kesemuanya berujung pada satu tujuan yaitu harta. Persaingan itu ditempuh dengan cara menipu, menjegal berkhianat dan sebagainya. Inilah karakter zaman kita sekarang ini, kejujuran dan kebenaran dianggap tidak relevan.
Puasa yang kita jalankan sebagai sarana untuk memcapai ketakwaan itu sekaligus merupakan sarana untuk menghadapi situasi sosial yang buruk seperti sekarang ini. Tetapi ketika peningkatan ketakwaan belum juga diperoleh, hari telah keburu lebaran sebagai hari pembebasan, bebas dari belenggu sosial yang mengarah pada amoralitas. Dalam konteks ini hari lebaran merupakan hari pebuktian apakah benar-benar puasa kita mencapai ketakwaan, sehingga membawa pada pembebasan. Kalau setelah lebaran seseorang mampu membebaskan dari kultur sosial yang hitam yang liberal dan kapitalistik ini berarati mereka telah memperoleh ketakwaan dan mampu membebaskan diri dari cengkeraman sosial yang merusak.
Tetapi kalau setelah lebaran mereka semakin kuat mengikuti arus tanpa sedikitpun melakukan resistensi terhadap arus budaya massa yang konsumtif, hedonis, maka itu berarati mereka sama sekali tidak berlebaran, tidak memperoleh pembebasan, karena puasanya tidak mengarah pada ketakwaan. Hal iti tidak lain ketika berpuasa nafsu bahimiyah (binatang) tetap menguasai jiwanya sehingga dalam melaksanakan puasa semakin banyak makan dan minum. Kezuhudan bukan diutamakan, sebaliknya ketamakan yang ditampakkan, sehingga nafsu mengumpulkan berbagai kesenangan duniawi lebih ditonjolkan ketimbang upaya meraih kebahagiaan ukhrawi.
Dalam situasi sosial dan politik yang buruk seperti ini dimana setiap orang yang hidup didalamnya harus mengikuti arus dan logika yang mereka gerakkan. Sistem sosial yang liberal kapitalistik ini punya pengaruh besar dalam pembentukan sikap dan kepribadian seseorang, sehingga dengan mudah orang menyesuaikan diri dengannya. Dan amat berat bisa bertahan dari pengaruh sistem ini, kecuali orang yang sudah bisa melakukan topo ngeli atau melakukan mati sajeruning urip, inilah yang disebut dengan hidup asketik yang dlam tasawuf disebut sebagai zuhud, sebiah tahapan awal menuju takarub keada Allah. Puasa merupakan langkah ke sana dan Lebaran merupakan momentum pembuktiannya.
Untuk memperbaiki masyarakat yang telah terbelenggu dalam sistem ini tidak cukup hanya dengan memperbaiki manusia sebagai individu. Melakukan perombakan total dari sistem sosial, atau revolusi sosial ini merupakan langkah strategis yang harus dtempuh. Sekuat apapun membina mental anggota masyarakat kalau situasi sosial tempat dia hidup masih buruk, maka orang akan cenderung berperilaku buruk, ketiak keburukan telah menjadi kelaziman dan tidak adalagi kontrol sosial unuk mencegah keburukan. Revolusi sosial sangat penting sebagai pijakan bagi revolusi moral. (Abdul Mun’im DZ/nuo)
Kamis, 24 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar